Tahukah teman-teman kalau perayaan Imlek dan segala embel-embelnya pernah dilarang di Indonesia?
Hah kok bisa? Lalu kenapa sekarang bisa ramai perayaannya dimana-mana?

Yuk simak sejarahnya!

Larangan tradisi dan perayaan Imlek di Indonesia memiliki akar sejarah yang terkait dengan dinamika politik, budaya, dan hubungan rasial di negara ini, khususnya pada era Orde Baru.
Berikut adalah penjelasan lengkap mengenai mengapa dan bagaimana tradisi Imlek pernah dilarang di Indonesia :

Mengapa Imlek Dilarang?

  1. Stigma Anti-Komunis
    Setelah pemberontakan G30S/PKI pada tahun 1965, pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto memberlakukan kebijakan ketat terhadap segala hal yang dianggap berhubungan dengan komunis. Budaya Tionghoa sering kali diasosiasikan dengan Tiongkok, yang saat itu dianggap mendukung ideologi komunis.
    Akibatnya, budaya Tionghoa, termasuk Imlek, dianggap mencurigakan dan diidentikkan dengan ancaman terhadap nasionalisme Indonesia.
  2. Kebijakan Asimilasi
    Untuk menciptakan kesatuan bangsa, pemerintah Orde Baru memberlakukan Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967, yang melarang ekspresi agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa di ruang publik. Tradisi seperti perayaan Imlek, barongsai, dan penggunaan bahasa Mandarin hanya boleh dilakukan di lingkungan pribadi.
    Kebijakan ini bertujuan untuk mendorong masyarakat Tionghoa “melebur” ke dalam budaya Indonesia, tetapi di sisi lain, ini menekan dan perlahan menghapus identitas budaya mereka.
  3. Diskriminasi Sistematis
    Selain kebijakan resmi, ada tekanan sosial dan politik terhadap masyarakat Tionghoa di Indonesia. Mereka sering menjadi sasaran prasangka etnis, sehingga banyak yang memilih untuk tidak menonjolkan tradisi mereka, termasuk merayakan Imlek.

Bagaimana Larangan Itu Diberlakukan?

  1. Larangan Formal melalui Aturan Pemerintah
    • Inpres No. 14/1967 secara resmi melarang perayaan adat Tionghoa di tempat umum.
      Hal ini mencakup perayaan Imlek, pernikahan adat, hingga pemakaian simbol-simbol budaya Tionghoa seperti huruf Hanzi dan lampion.
    • Surat kabar dan media berbahasa Tionghoa juga ditutup.
      Tradisi ini hanya boleh dilakukan secara terbatas di ruang privat, seperti dalam keluarga atau komunitas kecil.
  2. Pengawasan Ketat oleh Aparat
    Aparat keamanan sering mengawasi perayaan budaya Tionghoa untuk memastikan tidak ada pelanggaran terhadap kebijakan pemerintah.
    Perayaan Imlek di tempat umum hampir tidak mungkin dilakukan karena takut akan sanksi.
  3. Penghapusan Simbol-simbol Tionghoa
    • Nama-nama Tionghoa diharuskan diindonesiakan.
    • Penggunaan aksara Mandarin dilarang dalam dokumen resmi dan media.
    • Klenteng dan tempat ibadah Konghucu tidak diperbolehkan beroperasi secara terbuka.

Pemulihan dan Pengakuan Kembali

Setelah runtuhnya Orde Baru pada tahun 1998, larangan terhadap tradisi Tionghoa mulai dicabut. Proses pemulihan ini diprakarsai oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang mencabut Inpres No. 14/1967 pada tahun 2000.

Beberapa langkah penting:

  1. Pengakuan Imlek sebagai Hari Besar Nasional
    Pada tahun 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional. Ini menjadi tonggak penting dalam pengakuan budaya Tionghoa di Indonesia.
  2. Kebebasan Beragama dan Budaya
    Konghucu, yang sebelumnya tidak diakui sebagai agama resmi, kembali mendapatkan pengakuan. Tradisi seperti barongsai, lampion, dan angpao mulai muncul lagi di ruang publik tanpa rasa takut.

Larangan tradisi Imlek di Indonesia mencerminkan masa kelam diskriminasi budaya di era Orde Baru, di mana identitas Tionghoa ditekan demi tujuan politik dan asimilasi. Praktek diskriminasi ini dalam kesehariannya juga membuat jarak antara keturunan Tionghoa dan non Tionghoa, bahkan tidak jarang menyebabkan keributan. Dan puncaknya terjadi pada kerusuhan Mei 1998 dimana saat itu merupakan saat-saat terkelam bagi para peranakan Tionghoa terutama yang berada di Jakarta dan sekitarnya.

Namun, reformasi membawa perubahan besar, memungkinkan tradisi Imlek kembali dirayakan secara terbuka, menjadi simbol kebebasan berbudaya, dan memperkaya keberagaman Indonesia.
Dan setelahnya keterbukaan ruang publik terhadap tradisi dan kebudayaan Tionghoa perlahan mulai diterima dalam kehidupan bermasyarakat yang multikultural.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *